KATADATA – Perlambatan ekonomi yang terjadi di tanah air telah berdampak ke sektor perdagangan ritel. Ini terlihat dari omzet perusahaan ritel selama semester I-2015 yang cuma tumbuh 12,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu (year on year/ YoY). Padahal, pertumbuhan rata-rata dalam beberapa tahun terakhir mencapai 25 persen-28 persen.
Hasil analisis yang dilakukan Bank Mandiri situasi ini seiring dengan turunnya daya beli masyarakat. Ini ditunjukkan oleh turunnya indeks kepercayaan konsumen (IKK). Dari survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI), IKK sudah mengalami tren menurun sejak Maret 2015, terutama masyarakat dengan kelompok pengeluaran di atas Rp 1 juta per bulan.
Selain daya beli, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turut mempengaruhi kinerja sektor perdagangan ritel. Dampaknya memang berbeda-beda di masing-masing riteler. Yang terkena dampak paling besar adalah perusahaan yang menjual produk impor atau berbahan baku impor.
“Kenaikan upah minimum dan biaya operasional, serta persaingan yang semakin ketat menjadi tekanan yang juga memberatkan para riteler,” sebut laporan yang dikeluarkan Kantor Kepala Ekonom Bank Mandiri, Kamis (10/9).
Kondisi ini yang membuat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menurunkan target omzet ritel modern pada tahun ini menjadi Rp 175 triliun dari target sebelumnya Rp 185 triliun. Penurunan ini membuat target omzet hanya tumbuh 8 persen, lebih rendah dari realisasi pada tahun lalu sebesar 9,5 persen.
Koreksi target ini dilakukan lantaran realisasi hingga semester I-2015 baru sekitar Rp 74 triliun atau 85 persen dari target pada semester itu. Realisasi omzet tersebut tumbuh sebesar 12,7 persen YoY, melambat dibandingkan pertumbuhan rata-rata beberapa tahun terakhir yang mencapai 25 persen-28 persen YoY.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Handaka Sentosa mengakui adanya perlambatan di industri ritel. Hal ini pun berpengaruh pada bisnis pusat perbelanjaan. Masih ada waktu tiga setengah bulan hingga berakhirnya tahun ini untuk bisa mendongkrak penjualan ritel. Kunci utamanya dari pemerintah, bagaimana agar penyerapan anggaran bisa maksimal. Penyerapan anggaran ini bisa berpengaruh pada konsumsi domestik.
“Konsumsi domestik bisa naik kalau ada pertumbuhan dari anggaran (pemerintah). Swasta udah jalankan bagiannya, Ini bagian tugas pemerintah,” ujarnya.
Bank Mandiri juga melihat potensi pasar ritel untuk jangka menengah dan panjang masih besar. Ini terlihat dari survei A.T. Kearney’s 2015 Global Retail Index (GRDI) yang menempatkan Indonesia di posisi ke 12 dari 30 negara berkembang yang menjadi tujuan investasi ritel. Peringkat Indonesia naik dari posisi 15 pada tahun lalu.
“Data GRDI mengindikasikan pasar ritel Indonesia masih menarik bagi para peritel internasional,” sebut Bank Mandiri. “Ini dibuktikan dengan masuknya peritel kelas dunia dalam beberapa tahun terakhir seperti IKEA (Swedia) dan Courts Asia (Singapura) yang masuk tahun 2014, sementara Aeon Mall (Jepang) di BSD City masuk pada tahun ini.”
Ada tiga faktor yang menyebabkan potensi investasi ritel di Indonesia masih tinggi. Pertama, struktur demografi Indonesia yang didominasi oleh penduduk usia muda akan meningkatkan jumlah tenaga kerja produktif dengan disposable income dan pengeluaran konsumsi yang diharapkan akan meningkat.
Kedua, perubahan gaya hidup dan pola konsumsi seiring dengan peningkatan tren urbanisasi. Ketiga, jumlah kelas berpendapatan menengah yang terus bertambah.
Sumber : Industri Ritel Terimbas Perlambatan Ekonomi
Berita lainnya dari KATADATA.CO.ID :
Menteri BUMN Enggan Campuri soal Mangkraknya Fasilitas Gas PGN
PLN Luruskan Pernyataan Rizal Ramli
Dana Simpanan di Perbankan Mencapai Rp 4.415 Triliun
Katadata on Facebook | Twitter | Google +
via Katadata.co.id
0 comments:
Post a Comment