KATADATA – Ketidakpastian situasi perekonomian global diperkirakan masih akan berlangsung lama. Selain belum jelasnya rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS), perekonomian dunia juga bakal diresahkan oleh perlambatan ekonomi Cina.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini berbeda dengan krisis yang pernah terjadi pada 1998, 2005, dan 2008 lalu. Saat ini, pelaku ekonomi sudah mengetahui rencana kenaikan suku bunga AS, sehingga dapat mengantisipasinya di depan.
Situasi sekarang, menurut dia, masih jauh dari krisis. “Jadi semestinya ini jauh lebih mudah,” kata Chatib di Jakarta, Kamis (10/9).
Kendati begitu, gejolak ekonomi justru bisa bertambah riskan terkait dengan perkembangan situasi di Cina. Sampai sejauh Indonesia, perlambatan ekonomi di negeri panda itu belum secara pasti diketahui.
“Seberapa jauh Cina akan slowdown. Karena kita tidak tahu persis data tentang Cina. Coba lihat ketika dia mendevaluasi yuan 1,9 persen, persen (pasar) langsung berekspektasi,” kata dia.
Di pasar keuangan, nilai tukar rupiah pada hari ini berada di kisaran Rp 14.330 per dolar AS. Sejak awal tahun, rupiah tercatat sudah melemah hingga 16 persen terhadap mata uang negara Paman Sam. Sedangkan indeks harga saham gabungan (IHSG) tercatat sudah turun hingga 17 persen sejak awal tahun.
Ekonom Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra mengatakan, perlambatan ekonomi Cina akan menjadi sentimen lanjutan bagi pasar. Perlambatan ekonomi Cina akan membuat tekanan harga komoditas berlanjut hingga tahun depan. Kondisi ini dikhawatirkan akan mempengaruhi kepercayaan asing untuk berinvestasi di negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market).
“Dan inflow khususnya portofolio akan sedikit menurun karena sebagian inflow akan kembali ke negara maju yang pertumbuhan ekonominya lebih baik saat ini seperti AS,” kata Aldian kepada Katadata, Jumat (11/9).
Kepala Ekonom Citigroup Willem Buiter menyatakan, terdapat 55 persen peluang resesi ekonomi pada tahun depan yang disebabkan gejolak di negara-negara emerging market. Salah satu indikator adalah pertumbuhan ekonomi Cina yang diprediksi hanya berkisar 4 persen, lebih rendah dari target tahun ini 7 persen. Bahkan pada pertengahan 2016, dia memperkirakan ekonomi Cina lebih lambat dibandingkan tahun ini.
“Resesi dangkal kemungkinan akan terjadi, jika ekspansi melambat menjadi 2,5 persen pada pertengahan tahun depan,” kata Buiter dikutip dari Bloomberg.
Apalagi, negera dengan jumlah penduduk terbesar di dunia tersebut menyumbang hingga 14,3 persen terhadap seluruh total transaksi perdagangan dunia. Kepemilikan cina atas aset berbentuk US Treasury senilai US$ 6 triliun, setiap saat juga bisa menjadi bumerang bagi pasar keuangan dunia. Sedangkan pasar negara berkembang seperti Brazil, Afrika Selatan, dan Rusia sudah kesulitan dengan harga komoditas yang menurun.
Ekonom Eric Alexander Sugandi menambahkan, kekhawatiran pasar tahun depan justru akan lebih banyak terkait dengan perang mata uang. Alasannya, sudah banyak negara yang menurunkan suku bunganya untuk bisa membuat mata uangnya lebih kompetitif.
“Ada currency war , itu membuat fenomena super-dolar semakin terlihat. Ke depan saya pikir Fed Rate sudah di-price in timing-nya. Makin cepat makin baik, hantunya lebih baik dikeluarkan dulu.”
Namun Direktur Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk Indonesia Edimon Ginting menilai, perlambatan ekonomi Cina tak akan berlanjut hingga tahun depan. Alasannya, bila kenaikan Fed Rate dilakukan tahun ini seharusnya tekanan pasar sedikit menurun. Dengan begitu, bisa mendorong investasi dan menahan ekonomi lebih melambat.
Sumber : Selain the Fed, Sentimen Pasar Juga Terpengaruh Cina
Berita lainnya dari KATADATA.CO.ID :
Penurunan Harga Gas untuk Industri Berlaku pada Kontrak Baru
Salah Isi Formulir, KKKS Tanggung Mahalnya PBB Migas
Menkeu: Pertumbuhan Ekonomi Global Tahun Ini Lebih Rendah
Katadata on Facebook | Twitter | Google +
via Katadata.co.id
0 comments:
Post a Comment